Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ }
“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu,
dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan
Muslim 2022)
Hadits di atas mengandung tiga adab makan:
Pertama, membaca basmallah
Di antara sunnah Nabi adalah mengucapkan bismillah sebelum makan dan
minum dan mengakhirinya dengan memuji Allah. Imam Ahmad mengatakan,
“Jika dalam satu makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut
adalah makanan yang sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama
Allah saat mulai makan, memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang
yang turut makan dan berasal dari sumber yang halal.
Menyebut nama Allah sebelum makan berfungsi mencegah setan dari ikut
berpartisipasi menikmati makanan tersebut. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Apabila kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka kami tidak memulainya sehingga Nabi memulai makan. Suatu
hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba
datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut terdorong untuk
meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan. Dengan segera
Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu datanglah
seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan di dorong oleh sesuatu. Nabi
lantas memegang tangannya. Sesudah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya syaitan turut menikmati makanan yang
tidak disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis
tersebut dengan maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada
karena gadis tersebut belum menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh
karena itu aku memegang tangan anak tersebut. Syaitan pun lantas datang
bersama anak Badui tersebut supaya bisa turut menikmati makanan. Oleh
karena itu, ku pegang tangan Arab Badui itu. Demi Allah yang jiwaku ada
di tangan-Nya sesungguhnya tangan syaitan itu berada di tanganku bersama
tangan anak gadis tersebut.” (HR Muslim no. 2017)
Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan
bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi
Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan
tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR
Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611
Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut
persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibnu Hajar al-Astqalani mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu dalil
khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan
bismillahirramanirrahim ketika hendak makan itu lebih afdhal.” (Fathul
Baari, 9/431)
Apabila kita baru teringat kalau belum mengucapkan bismillah sesudah
kita memulai makan, maka hendaknya kita mengucapkan bacaan yang Nabi
ajarkan sebagaimana dalam hadits berikut ini, dari Aisyah radhiyallahu
‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah
satu kalian hendak makan, maka hendaklah menyebut nama Allah. Jika dia
lupa untuk menyebut nama Allah di awal makan, maka hendaklah mengucapkan
bismillahi awalahu wa akhirahu.” (HR Abu Dawud no. 3767 dan dishahihkan
oleh al-Albani)
Apabila kita selesai makan dan minum lalu kita memuji nama Allah maka
ternyata amal yang nampaknya sepele ini menjadi sebab kita mendapatkan
ridha Allah. Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang
hamba yang menikmati makanan lalu memuji Allah sesudahnya atau meneguk
minuman lalu memuji Allah sesudahnya.” (HR Muslim no. 2734)
Bentuk bacaan tahmid sesudah makan sangatlah banyak. Diantaranya
adalah dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika selesai makan mengucapkan:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ }
“segala puji milik Allah Dzat yang mencukupi kita dan menghilangkan
dahaga kita, pujian yang tidak terbatas dan tanpa diingkari.”
Terkadang beliau juga mengucapkan:
{ الـحَمْدُ للـهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ، غَيْرَ
[مَكْفِيٍّ ولا] مُوَدَّعٍ، ولا مُسْتَغْنَىً عَنْهُ رَبَّنَا }
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan penuh berkah
meski bukanlah pujian yang mencukupi dan memadai, dan meski tidaklah
dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari).
Dari Abdurrahman bin Jubair dia mendapat cerita dari seorang yang
melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama delapan tahun. Orang
tersebut mengatakan, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan bismillah apabila makanan disuguhkan kepada beliau.
Apabila selesai makan Nabi berdoa: Allahumma Ath’amta wa Asqaita wa
Aqnaita wa Ahyaita falillahil hamdu ala ma A’thaita yang artinya, “Ya
Allah engkaulah yang memberi makan memberi minum, memberi berbagai
barang kebutuhan, memberi petunjuk dan menghidupkan. Maka hanya untukmu
segala puji atas segala yang kau beri.” (HR Ahmad 4/62, 5/375 al-Albani
mengatakan sanad hadits ini shahih. Lihat silsilah shahihah, 1/111)
Hadits ini menunjukkan bahwa ketika kita hendak makan cukup mengucap
bismillah saja tanpa arrahman dan arrahim dan demikianlah yang dilakukan
oleh Nabi sebagaimana tertera tegas dalam hadits di atas. Di samping
bacaan-bacaan tahmid di atas, sebenarnya masih terdapat bacaan-bacaan
yang lain. Dan yang paling baik dalam hal ini adalah berganti-ganti,
terkadang dengan bentuk bacaan tahmid yang ini dan terkadang dalam
bentuk bacaan tahmid yang lain. Dengan demikian kita bisa menghafal
semua bacaan doa yang Nabi ajarkan serta mendapatkan keberkahan dari
semua bacaan-bacaan tersebut. Di samping itu kita bisa meresapi
makna-makna yang terkandung dalam masing-masing bacaan tahmid karena
kita sering berganti-ganti bacaan. Jika kita membiasakan melakukan
perkara tertentu seperti membaca bacaan zikir tertentu, maka jika ini
berlangsung terus menerus kita kesulitan untuk meresapi makna-makna yang
kita baca, karena seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang refleks dan
otomatis
Kedua, makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri
Dari Jabir bin Aabdillah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian makan dengan tangan kiri
karena syaitan itu juga makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim no. 2019)
dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak makan maka
hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak
minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya
syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan
tangan kirinya.” (HR Muslim no. 2020) Imam Ibnul Jauzi mengatakan,
“karena tangan kiri digunakan untuk cebok dan memegang hal-hal yang
najis dan tangan kanan untuk makan maka tidak sepantasnya salah satu
tangan tersebut digunakan untuk melakukan pekerjaan tangan yang lain.”
(Kasyful Musykil, hal 2/594)
Meskipun hadits-hadits tentang hal ini sangatlah terkenal dan bisa
kita katakan orang awam pun mengetahuinya, akan tetapi sangat
disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang bersih kukuh untuk
tetap makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Apabila ada yang
mengingatkan, maka dengan ringannya menjawab karena sudah terlanjur jadi
kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Tidak disangsikan lagi bahwa
prinsip seperti ini merupakan tipuan syaitan agar manusia jauh dari
mengikuti aturan Allah yang Maha Penyayang. Lebih parah lagi jika makan
dan minum dengan tangan kiri ini disebabkan faktor kesombongan.
Dari Salamah bin Akwa radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita bahwa ada
seorang yang makan dengan menggunakan tangan kiri di dekat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat hal tersebut Nabi bersabda,
“Makanlah dengan tangan kananmu.” “Aku tidak bisa makan dengan tangan
kanan,” sahut orang tersebut. Nabi lantas bersabda, “Engkau memang tidak
biasa menggunakan tangan kananmu.” Tidak ada yang menghalangi orang
tersebut untuk menuruti perintah Nabi kecuali kesombongan. Oleh karena
itu orang tersebut tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke
mulutnya.” (HR Muslim no. 2021)
Dalam riwayat Ahmad no. 16064 dinyatakan, “Maka tangan kanan orang
tersebut tidak lagi bisa sampai ke mulutnya sejak saat itu.” Imam Nawawi
mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan untuk
mendoakan kejelekan terhadap orang yang tidak melaksanakan aturan
syariat tanpa aturan yang bisa dibenarkan. Hadits di atas juga
menunjukkan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dalam
segala keadaan. Sampai-sampai meskipun sedang makan. Di samping itu
hadits di atas juga menunjukkan adanya anjuran mengajari adab makan
terhadap orang yang tidak melaksanakannya (Syarah shahih Muslim, 14/161)
Meskipun demikian jika memang terdapat alasan yang bisa dibenarkan
yang menyebabkan seseorang tidak bisa menikmati makanan dengan tangan
kanannya karena suatu penyakit atau sebab lain, maka diperbolehkan makan
dengan menggunakan tangan kiri. Dalilnya firman Allah, “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS.
al-Baqarah: 286)
Ketiga, memakan makanan yang berada di dekat kita
Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di
pinggir nampan, lantas Nabi bersabda, “Makanlah makanan yang berada di
dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)
Hikmah dari larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang
lain, adalah perbuatan kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa
jijik dengan perbuatan itu.
Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikmati makanan yang ia buat.
Aku ikut pergi menemani Nabi. Orang tersebut menyuguhkan roti yang
terbuat dari gandum kasar dan kuah yang mengandung labu dan dendeng. Aku
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil labu yang
berada di pinggir nampan.” (HR. Bukhari, no. 5436, dan Muslim no. 2041)
Kalau lihat hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang
berada di dekat beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk
kompromi dua hadits tersebut, Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhiid Jilid I
halaman 277, mengatakan, “Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau
beberapa macam lauk, atau jenis makanan yang lain, maka diperbolehkan
untuk mengambil makanan yang tidak berada di dekat kita. Apabila hal
tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang dikehendaki. Sedangkan
maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu” adalah karena
makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan para
ulama”
Anjuran makan dari pinggir piring
Diriwayatkan dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda,
“Jika kalian makan, maka janganlah makan dari bagian tengah piring, akan
tetapi hendaknya makan dari pinggir piring. Karena keberkahan makanan
itu turun dibagian tengah makanan.” (HR Abu Dawud no. 3772, Ahmad, 2435,
Ibnu Majah, 3277 dan Tirmidzi, 1805. Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadits
ini hasan shahih.”)
Hikmah larangan makan dari bagian tengah piring adalah, agar kita
mendapatkan keberkahan yang berada di tengah-tengah makanan. Jika sedang
makan bersama (baca: kembulan -Jawa, sepiring berdua atau lebih)
terdapat hikmah yang lain, yaitu orang yang mengambil makanan berada di
tengah, di nilai orang yang tidak sopan dan memilih yang enak-enak saja
untuk dirinya sendiri.
Cuci tangan sebelum makan dan sesudah makan
Dalam hal ini, tidak ditemukan satu pun hadits shahih yang
membicarakan tentang cuci tangan sebelum makan, namun hanya berstatus
hasan. Imam Baihaqi mengatakan, “Hadits tentang cuci tangan sesudah
makan adalah hadits yang berstatus hasan, tidak terdapat hadits yang
shahih tentang cuci tangan sebelum makan.” (Adabus Syar’iyyah, 3/212)
Walau demikian, cuci tangan sebelum makan tetap dianjurkan, untuk
menghilangkan kotoran atau hal-hal yang berbahaya bagi tubuh yang
melekat di tangan kita.
Tentang cuci tangan sebelum makan, Imam Ahmad memiliki dua pendapat:
pertama menyatakan makruh. Sedangkan yang kedua menyatakan dianjurkan.
Imam Malik lebih merinci hal ini, beliau berpendapat, dianjurkan cuci tangan sebelum makan jika terdapat kotoran di tangan.
Ibnu Muflih mengisyaratkan, bahwa cuci tangan sebelum makan itu tetap
dianjurkan, dan ini merupakan pendapat beberapa ulama. Dalam hal ini
ada kelapangan. Artinya jika dirasa perlu cuci tangan, jika dirasa tidak
perlu tidak mengapa.
Mengenai cuci tangan sesudah makan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging
kambing dan belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia
menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud,
3852 dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan belikat kambing. Sesudah
selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru
melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini
dishahihkan oleh al-Albani)
Abban bin Utsman bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti
yang bercampur dengan daging, setelah selesai makan beliau
berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan beliau. Lalu dua tangan tersebut
beliau usapkan ke wajahnya. Setelah itu beliau melaksanakan shalat dan
tidak berwudhu lagi. (HR. Malik, no. 53)
Keadaan junub hendak makan
Jika kita dalam kondisi junub dan hendak makan, maka dianjurkan
berwudhu terlebih dahulu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub lalu
hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu, seperti
berwudhu untuk shalat.” (HR Bukhari, no. 286 dan Muslim, no. 305)
Nafi’ mengatakan, bahwa Ibnu Umar jika ingin tidur atau ingin makan
dalam kondisi junub maka beliau membasuh wajah dan kedua tangannya
sampai siku dan mengusap kepala. (baca: berwudhu) sesudah itu beliau
baru makan atau tidur.” (HR Malik, no. 111)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kami tidak mengetahui
seorang pun ulama yang menganjurkan berwudhu sebelum makan kecuali dalam
keadaan junub.” (Adab Syar’iyyah 3/214)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, bahwa Rasulullah bila hendak
tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu terlebih dahulu, dan
apabila beliau hendak makan maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih
dahulu.” (HR Nasa’i no. 256, Ahmad, 24353, dan lain-lain)
Dalam Silsilah ash-Shahihah, 1/674, syaikh al-Albani berdalil dengan
hadits di atas untuk menganjurkan mencuci tangan sebelum makan secara
mutlak baik dalam kondisi junub ataupun tidak. Tetapi pendapat beliau
itu kurang tepat, mengingat beberapa alasan: pertama, hadits di atas
berisi penjelasan tentang makan minum dan tidur Nabi pada saat beliau
dalam keadaan junub. Kedua, dalam sebagian riwayat digunakan kata-kata
‘berwudhu’ sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan mencuci dua
tangan sebagaimana dalam hadits di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kedua perbuatan di atas boleh dilakukan.
As-Sindi mengatakan, “Terkadang Nabi cuma membasuh kedua tangannya
untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut dan terkadang Nabi berwudhu agar
lebih sempurna.” (Sunan Nasa’i dengan hasyiyah as-Sindi, 1/138 –139)
Ketiga, para Ulama ahli hadits, seperti Imam Malik, Ahmad, Ibnu
Taimiyyah, Nasai dan lain-lain menyampaikan hadits ini, akan tetapi
mereka tidak menganjurkan cuci tangan sebelum makan secara mutlak,
sebagaimana yang dilakukan oleh syekh al-Albani. Hal ini menunjukkan,
bahwa menurut para ulama-ulama di atas hadits tadi hanya berlaku pada
saat dalam kondisi junub.
Intinya, anjuran berwudhu dan cuci tangan sebelum makan yang terdapat
dalam hadits di atas hanya dianjurkan saat dalam kondisi junub.
Tidak duduk sambil bersandar
Abu Juhaifah mengatakan, bahwa dia berada di dekat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berkata kepada
seseorang yang berada di dekat beliau, “Aku tidak makan dalam keadaan
bersandar.” (HR Bukhari)
Yang dimaksud duduk sambil bersandar dalam hadits tersebut adalah
segala bentuk duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, dan tidak
terbatas dengan duduk tertentu. Makan sambil bersandar dimakruhkan
dikarenakan hal tersebut merupakan duduknya orang yang hendak makan
dengan lahap.
Ibnu Hajar mengatakan, “Jika sudah disadari bahwasanya makan sambil
bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang
dianjurkan ketika makan adalah dengan menekuk kedua lutut dan menduduki
bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan
menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari, 9/452)
Tentang duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri
terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hasan bin al-Muqri
dalam kitab Syama’il. Dalam riwayat itu dinyatakan, bahwa duduk Nabi
menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan. Tetapi sanad
hadits ini didha’ifkan oleh al-’Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin,
2/6.
Di antara bentuk duduk bersandar adalah duduk bersandar dengan tangan
kiri yang diletakkan di lantai. Ibnu ‘Addi meriwayatkan sebuah hadits
yang mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
bersandar dengan tangan kiri pada saat makan. Namun sanad hadits ini
juga dinyatakan lemah oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452.
Meskipun demikian cara duduk seperti itu tetap dimakruhkan, sebagaimana
perkataan Imam Malik. Beliau mengatakan, bahwa duduk semacam itu
termasuk duduk bersandar.
Tidak tengkurap
Termasuk gaya makan yang terlarang adalah makan sambil tengkurap.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk
dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil
tengkurap.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh
al-Albani.
Dalam Zaadul Maad, 4/221, Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam makan sambil duduk dengan meletakkan
pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki. Dan diriwayatkan
pula, bahwa Nabi makan sambil berlutut dan bagian dalam telapak kaki
kiri diletakkan di atas punggung telapak kaki kanan. Hal ini beliau
lakukan sebagai bentuk tawadhu’ kepada Allah ta’ala.
Cara duduk pertama yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau
mengatakan, “Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
memakan kurma sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan
menegakkan dua betis kaki.” (HR Muslim)
Dan cara duduk kedua, diriwayatkan dari Abdullah bin Busrin, “Aku
memberi hadiah daging kambing kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau memakannya sambil duduk berlutut. Ada seorang Arab
Badui mengatakan, “Mengapa engkau duduk dengan gaya seperti itu? Lalu
Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikanku seorang hamba yang mulia
dan tidak menjadikanku orang yang sombong dan suka menentang.” (HR Ibnu
Majah, sanad hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul
Baari, 9/452).
Segera makan ketika makanan sudah siap
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika makan malam sudah disajikan dan Iqamah shalat
dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Janganlah tergesa-gesa sehingga selesai makan,”
merupakan dalil bahwa orang tersebut diperbolehkan menikmati makanan
hingga selesai. Ini merupakan pendapat yang benar. Adapun pendapat
sebagian ulama yang mengatakan hendaknya orang tersebut mengambil sesuap
makanan untuk mengurangi rasa lapar yang melilit adalah pendapat tidak
benar. Karena sabda Nabi di atas tegas menunjukkan tidak benarnya
pendapat tersebut.” (Syarah shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 5/38)
Mengingat hadits di atas, maka Ibnu Umar jika makan malam sudah
disajikan dan shalat sudah mulai dilaksanakan, beliau tidak meninggalkan
makanan tersebut hingga selesai.
Diriwayatkan dari Nafi’, beliau mengatakan terkadang Ibnu Umar
mengutusnya untuk satu keperluan, padahal beliau sedang berpuasa.
Kemudian makan malam disajikan kepada Ibnu Umar, sedangkan shalat Magrib
sudah dikumandangkan. Bahkan beliau mendengar suara bacaan imam
(shalat) yang sudah mulai shalat, tetapi beliau tidak meninggalkan makan
malamnya, tidak pula tergesa-gesa, sehingga menyelesaikan makan
malamnya. Setelah itu beliau baru keluar dan melaksanakan shalat. Ibnu
Umar menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian tergesa-gesa menyelesaikan makan malam kalian jika
sudah disajikan.” (HR. Ahmad)
Hikmah dari larangan dalam hadits di atas adalah supaya kita tidak
melaksanakan shalat dalam keadaan sangat ingin makan, sehingga hal
tersebut mengganggu shalat kita dan menghilangkan kekhusyukannya.
Suatu ketika Abu Hurairah dan Ibnu Abbas sedang makan lalu muazin
hendak mengumandangkan iqamat. Ibnu Abbas lalu mengatakan kepada muazin
tersebut, “Janganlah engkau tergesa-gesa supaya kita tidak melaksanakan
shalat dalam keadaan membayangkan makanan.” (HR. Sa’id bin Manshur dan
Ibnu Abi Syaibah. Sanad riwayat ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Baari, 2/189)
Ketentuan dalam hadits di atas tidak hanya berlaku untuk makan malam,
namun juga berlaku untuk semua makanan yang sangat kita inginkan,
mengingat hadits dari Aisyah dia mengatakan bahwa beliau pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah
shalat saat makanan sudah disajikan dan pada saat menahan buang air
besar dn buang air kecil.” (HR. Muslim)
Perbuatan Ibnu Umar sebagaimana dalam riwayat Ahmad di atas
menunjukkan, bahwa makan itu lebih diutamakan dari pada shalat secara
mutlak. Tetapi ada ulama yang menyatakan, bahwa makan itu lebih
diutamakan dalam shalat pada saat kita sangat ingin untuk makan. Oleh
karena itu jika kita sedang sangat ingin makan, maka yang paling utama
adalah menyantap makanan terlebih dahulu, sehingga kita bisa shalat
dalam keadaan khusyuk.
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Di antara tanda kepahaman
agama yang dimiliki seseorang adalah menyelesaikan kebutuhannya terlebih
dahulu sehingga bisa melaksanakan shalat dalam keadaan konsentrasi.”
(HR. Bukhari tanpa sanad. Lihat Fathul Baari, 2/187)
Al-Hasan bin Ali mengatakan, “makan malam sebelum melaksanakan shalat
itu bisa menghilangkan jiwa yang sering tidak bisa konsentrasi.” (Lihat
Fathul Baari, 2/189)
Ringkasnya, pendapat yang benar adalah sebagaimana yang disampaikan
oleh Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa
sebab diperintahkannya makan terlebih dahulu daripada shalat adalah
mencegah keinginan untuk makan (ketika sedang shalat). Oleh karena itu,
seyogyanya ketentuan ini dijalankan, jika sebab perintah ada. Dan tidak
dijalankan jika sebab perintah itu tidak ada.” (Fathul Baari,
2/189-190).
Tetapi, jika makanan sudah disajikan namun kita tidak dalam kondisi
terlalu lapar, maka hendaknya kita lebih mengutamakan shalat dari pada
makan.
Makan dengan tiga jari
Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makan
dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jari-jari tersebut sesudah
selesai makan.
Dari Ka’ab bin Malik dari bapaknya beliau mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam itu makan dengan menggunakan tiga jari dan
menjilati jari-jari tersebut sebelum dibersihkan.” (HR Muslim no. 20232
dan lainnya)
Berkenaan dengan hadits ini Ibnu Utsaimin mengatakan, “Dianjurkan
untuk makan dengan tiga jari, yaitu jari tengah, jari telunjuk, dan
jempol, karena hal tersebut menunjukkan tidak rakus dan ketawadhu’an.
Akan tetapi hal ini berlaku untuk makanan yang bisa dimakan dengan
menggunakan tiga jari. Adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan
menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari
tiga jari, misalnya nasi. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan
menggunakan tiga jari maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari
saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (Syarah Riyadhus shalihin Juz VII hal 243)
Menjilati jari dan sisa makanan (-ed)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika salah satu di antara kalian makan, maka janganlah
dia bersihkan tangannya sehingga dia jilati atau dia minta orang lain
untuk menjilatinya.” (HR. Bukhari no. 5456 dan Muslim no. 2031)
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud dinyatakan, “Maka janganlah dia
bersihkan tangannya dengan sapu tangan sehingga dia jilati atau dia
minta orang lain untuk menjilatinya.”
Alasan mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal
di atas dijelaskan dalam hadits yang lain dari Jabir bin Abdillah,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
menjilati jari dan piring yang digunakan untuk makan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di manakah letak berkah makanan
tersebut.” Maksudnya, makanan yang kita nikmati itu mengandung berkah.
Namun kita tidak mengetahui letak keberkahan tersebut. Apakah dalam
makanan yang sudah kita santap, ataukah yang tersisa dan melekat di
jari, ataukah yang tersisa di piring, ataukah berada dalam suapan yang
jatuh ke lantai. Oleh karena itu hendaknya kita memperhatikan itu semua
agar mendapatkan keberkahan. Yang dimaksud berkah adalah tambahan
kebaikan, yaitu kebaikan yang bersifat permanen dan bisa menikmati
kebaikan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan keberkahan makanan
adalah bisa mengenyangkan, tidak menimbulkan gangguan pada tubuh,
menjadi sumber energi untuk berbuat ketaatan dan lain-lain.
Ibnu Ustaimin mengatakan, “Seyogyanya jika sudah selesai makan,
jari-jari yang dipakai untuk makan dijilat terlebih dahulu sebelum
dibersihkan dengan sapu tangan sebagaimana perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Beliau memerintahkan untuk menjilati jari atau
meminta orang lain untuk menjilati jari kita. Mengenai menjilati jari
sendiri maka ini adalah satu perkara yang jelas. Sedangkan meminta orang
lain untuk menjilati jari kita adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi.
Jika rasa cinta suami istri itu sangatlah kuat, maka sangatlah mungkin
seorang istri menjilati tangan suaminya, atau seorang suami menjilati
tangan istrinya. Jadi hal ini adalah suatu hal yang mungkin terjadi.
Ada orang yang berkomentar bahwa Nabi tidak mungkin menyampaikan
perkataan di atas. Bagaimanakah kita minta orang lain untuk menjilati
jari kita? Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanyalah menyampaikan kebenaran dan beliau mustahil menyampaikan
sesuatu yang tidak mungkin. Jadi, melaksanakan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas adalah satu hal yang mungkin sekali.
Misalnya ada seorang atau ada orang tua yang sangat mencintai
anak-anaknya yang masih kecil, lalu orang tua tersebut menjilati
jari-jari anaknya, sesudah anak-anak tersebut selesai makan. Ini adalah
suatu hal yang mungkin terjadi. Sehingga yang sesuai dengan sunnah
adalah menjilati tangan sendiri atau meminta orang lain untuk
menjilatinya. Akan tetapi dalam hal ini ada kelapangan, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Maka hendaklah dia
minta orang lain untuk menjilati jarinya.” Seandainya Nabi mengatakan
demikian, tentu kita harus memaksa orang lain untuk sesuatu yang sulit
dia kerjakan.”
Beliau juga mengatakan, “Ada orang yang menyampaikan informasi
kepadaku yang bersumberkan dari keterangan salah seorang dokter, bahwa
ruas-ruas jari tangan ketika digunakan untuk makan itu mengeluarkan
sejenis cairan yang membantu proses pencernaan makan dalam lambung.
Seandainya informasi ini benar maka ini adalah di antara manfaat
mengamalkan sunnah di atas. Jika manfaat secara medis tersebut memang
ada, maka patut disyukuri. Akan tetapi jika tidak terjadi, maka hal
tersebut tidaklah menyusahkan kita karena yang penting bagi kita adalah
melaksanakan perintah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal
243-245)
Mengenai menjilati piring yang digunakan untuk makan, Ibnu Utsaimin
mengatakan, “Selayaknya piring atau wadah yang dipakai untuk meletakkan
makanan dijilati. Artinya jika kita sudah selesai makan, maka hendaknya
kita jilati bagian pinggir dari piring tersebut sebagaimana yang
diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita tidak
mengetahui letak keberkahan makanan. Satu hal yang ironi, banyak orang
yang selesai makan namun tidak melaksanakan sunnah Nabi ini sehingga
kita dapatkan piring-piring makanan tersebut sebagaimana semula. Sebab
terjadinya hal ini adalah ketidakpahaman akan sunnah Nabi. Seandainya
orang-orang alim mau menasihati orang-orang awam untuk melaksanakan
sunnah Nabi berkenaan dengan makan dan minum ketika mereka makan bersama
orang-orang awam, tentu berbagai sunnah Nabi ini akan tersebar luas.
Semoga Allah memaafkan kita karena betapa seringnya kita meremehkan dan
tidak melaksanakan sunnah-sunnah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz
VII hal 245)
No comments:
Post a Comment